Silabuskepri.co.id | Batam – Komisi I DPRD Kota Batam menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Jumat sore (10/10/2025) untuk membahas sengketa lahan antara warga Bengkong Palapa dan PT Satria Batam Sukses (PT SBS). Rapat yang berlangsung di ruang rapat Komisi I DPRD Batam ini dimulai sekitar pukul 17.00 WIB dan dipimpin langsung oleh Ketua Komisi I, Dr. Mustofa, S.H., M.H., didampingi oleh anggota Komisi I, Jimmy Simatupang dan Tumbur Hutasoit.
Pertemuan tersebut digelar sebagai respons atas keluhan warga yang menyoal penetapan lokasi (PL) lahan oleh BP Batam kepada PT SBS. Warga mengungkapkan keberatan karena merasa telah mengajukan permohonan PL pada lahan yang sama sebelumnya, namun tidak mendapat persetujuan dari BP Batam. Sementara di sisi lain, PT SBS justru memperoleh PL meskipun menurut warga, proses pengajuannya tidak transparan.
“Kami sudah beberapa kali mengajukan permohonan PL ke BP Batam, tapi tidak pernah disetujui. Sekarang tiba-tiba ada perusahaan yang mendapat PL di atas tanah yang sudah lama kami tempati. Ini jelas tidak adil,” ujar salah satu perwakilan warga dengan nada kecewa.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi I, Dr. Mustofa menegaskan bahwa DPRD tidak memiliki kewenangan untuk mengadili dugaan kesalahan administratif dalam penerbitan PL. Namun demikian, pihaknya tetap berkomitmen untuk memfasilitasi dialog antara warga dan perusahaan agar konflik tidak meluas.
“Kalau memang ada indikasi maladministrasi, kami sarankan masyarakat melaporkannya ke Ombudsman. DPRD tidak memiliki kapasitas untuk memutuskan sah atau tidaknya PL tersebut. Namun, kami hadir untuk mencegah konflik horizontal yang merugikan semua pihak,” tegas Mustofa.
Dalam forum tersebut, Direktur PT Satria Batam Sukses (SBS), Udin Sihaloho.SH, memberikan penjelasan terkait riwayat permohonan PL yang diajukan perusahaannya. Ia menyatakan bahwa permohonan telah diajukan sejak tahun 2011, namun baru mendapatkan persetujuan dari BP Batam pada tahun 2022, setelah melalui proses panjang dan sesuai regulasi.
“Prosesnya panjang, dan tidak mudah. Kami sudah mengajukan sejak 2011, dan baru pada 2022 ada keputusan dari BP Batam. Kami mengikuti semua tahapan sesuai dengan aturan yang berlaku,” jelas Udin.
Udin juga mengklaim bahwa pihaknya telah melakukan berbagai pendekatan persuasif kepada masyarakat, termasuk menawarkan kompensasi dan opsi penyelesaian damai, namun belum mendapat titik temu. Ia mengeluhkan bahwa setiap upaya pembangunan di lokasi tersebut selalu mendapatkan penolakan, bahkan tuduhan bahwa perusahaannya menggunakan kekuatan preman di lapangan.
“Kami terbuka untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai. Tapi setiap kali kami mulai bekerja sesuai izin, selalu ada penolakan. Bahkan kami dituduh memakai preman. Kalau memang ada bukti bahwa kami menggunakan kekerasan, silakan dilaporkan, kami siap bertanggung jawab,” ungkap Udin dengan tegas.
Di akhir pertemuan, Anggota Komisi I DPRD Batam, Tumbur Hutasoit, mengingatkan BP Batam sebagai otoritas pengelola lahan untuk tidak mengabaikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, terutama yang telah lama bermukim di kawasan tersebut.
“Kami harap BP Batam juga memikirkan kepentingan masyarakat. Kalau memang masih ada lahan yang bisa dialokasikan untuk warga, tolong dipertimbangkan secara adil,” ujar Tumbur menutup rapat.
RDP ini diharapkan menjadi langkah awal dalam mencari solusi yang adil dan menghindari terjadinya konflik terbuka di lapangan antara warga dan pihak perusahaan.(red)