Batam, Silabuskepri.co.id –– Kasus 2 orang siswa SMP Negeri 21 Sagulung, Batam, Kepulauan Riau yang viral dikeluarkan pihak sekolah karena tidak menghormati Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara bendera berlangsung beberapa waktu lalu.
Informasi beredar. Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam Hendri Arulan langsung memberikan keputusan memberikan sanksi pemecatan terhadap 2 siswa tersebut, usai melakukan pertemuan bersama dengan pihak SMP Negeri 21 Sagulung, Dewan Pendidikan Kota Batam, Kepolisian, Danramil Batam Barat, Komisi Perlindungan Anak Daerah dan Komite SMP Negeri 21 Sagulung.
“Mereka menganut aliran kepercayaan ‘Saksi Yehuwa’ pada saat upacara bendera, tidak boleh menghormati Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kita memberikan sanksi pemecatan karna tidak mengikuti aturan di NKRI,” katanya kepada media.
Menanggapi permasalahan ini meluas menjadi isu Nasional. Ketua Majelis Umat Kristen Indonesia, Jasarmen Purba SH, dan tokoh-tokoh Masyarakat Sagulung turun langsung menemui orang tua siswa dan juga petuah aliran Saksi Yehuwa dan menjelaskan bahwa Agama Kristen di Indonesia mengikuti dan turut dengan UU yang ada di NKRI.
“Saya selaku ketua MUKI Indonesia mendapat laporan dan tanggapan miring terkait keberadaan Agama Kristen setelah isu beredar. Hal ini Saya langsung turun menjumpai orang tua siswa dan juga beberapa petuah “Saksi Yehuwa” untuk bersilaturahmi dan memberikan pemahaman terkait permasalahan tersebut,” kata Jasarmen Purba yang juga mantan anggota DPD RI mewakili Kepri ini.
Sesuai dengan pertemuannya dengan orang tua siswa dan petuah petuah “Saksi Yehuwa” Jasarmen Purba mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan 2 siswa dan mereka (Aliran Saksi Yehuwa) tersebut bukan terpapar Radikalisme dan murni adalah iman mereka.
“Mereka melakukan hal ini, bukan terpapar Radikalisme, akan tetapi oleh karena kepercayaan dan iman kenyakinannya yang mengatakan bahwa tidak mengakui Bendera Merah Putih, tidak mengakui Indonesia Raya dan segala macam yang ada di NKRI,” kata Jasarmen kepada Silabuskepri.co.id. Kamis, (28/11/2019).
Jasarmen Purba menjelaskan, selaku ketua MUKI pusat menyampaikan bahwa Kristen itu taat aturan dan UU yang ada di NKRI.
“Kami dari MUKI menjelaskan, bahwa Kristen itu taat aturan, taat UU yang ada di Indonesia, dan oleh karena itu kami berpendapat bahwa Kristen itu harus taat akan aturan hukum dan UU dimana dia tinggal,” jelas Jasarmen.
Terkait SK surat pemecatan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Batam terhadap 2 siswa tersebut sudah keluar. Jasarmen berharap orang tua siswa memberikan pemahaman kepada anaknya akan aturan di Sekolah.
“Kita prihatin akan SK pemecatan yang sudah keluar. Kita berharap anak tersebut bisa kembali bersekolah dengan mencabut SK tersebut. Akan tetapi orang tua siswa harus memberikan pemahaman, artinya sesuai aturan yang ada harus di ikuti,” pungkasnya.
Banyaknya komentar dan tanggapan miring terkait Agama Kristen terkait kasus tersebut yang mengatas-namakan Kristen. MUKI sendiri akan menyatakan kepada Menteri Agama Sekyu Dirjen Kristen Protestan akan keberadaan aliran “Saksi Yehuwa”.
“Kenapa Saksi Yehuwa ada didalam Kristen Protestan, sementara Kristen Protestan itu, adalah orang-orang dan Agama yang taat akan peraturan, artinya harus mengakui Bendera Indonesia, harus mengakui Indonesia Raya dan lain sebagainya. Ini menjadi pertanyaan MUKI sendiri kepada Menteri Agama, permasalahan ini mengarah kepada Agama lain” tegasnya.
Seharusnya. Aliran mereka (Saksi Yehuwa) dipindahkan ke Aliran asal mereka karna tidak sama dengan ajaran Agama Kristen Protestan.
“Kita harapkan mereka (Saksi Yehuwa) harus dipindahkan ke Aliran kepercayaannya. Hal ini adalah bentuk tindakan supaya seluruh umat Kristen yang ada di Batam dan di Indonesia tidak gelisah,” katanya.
“Kita mendukung pemecatan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Batam kepada 2 siswa tersebut, karna bukan kepada mereka saja. Tapi kepada siapa saja yang tidak menghormati Bendera Indonesia harus di pecat. Artinya, menjadi contoh kepada yang lain agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi,” tutupnya. (Pino Siburian)