Silabuskepri.co.id | MAMUJU – Jejak sejarah yang tersembunyi di tanah Simboro, kawasan yang kini menjadi lokasi Pelabuhan Feri Mamuju, kembali menarik perhatian. Masyarakat setempat masih menyebut nama Kerajaan Kurri-Kurri, sebuah kerajaan yang diyakini pernah berjaya pada abad ke-16 hingga ke-17 Masehi. Meski telah berlalu ratusan tahun, ingatan tentang kerajaan ini belum sepenuhnya pudar. Namun, bukti fisik maupun garis keturunan raja-raja Kurri-Kurri masih menjadi misteri hingga hari ini.
Warga Mamuju, khususnya yang bermukim di wilayah Simboro, terus berupaya menelusuri jejak kerajaan tersebut. Nama Kurri-Kurri kerap disebut dalam berbagai ritual adat, seperti peringatan Hari Jadi Mamuju dan upacara Massossor Manurung, sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur. Sayangnya, keberadaan kerajaan itu kini tinggal cerita. Tak ada struktur kerajaan yang tersisa, dan tak ada pula garis keturunan resmi yang diketahui dengan pasti.
Lebih dari sekadar legenda, Kerajaan Kurri-Kurri juga meninggalkan warisan budaya berupa tarian sakral yang kini hampir punah: Tari Pattu’du. Tarian ini dipercaya merupakan bentuk penyambutan bagi tamu agung atau raja dari kerajaan lain, seperti Gowa dan Bone, yang datang ke Simboro.
Tari Pattu’du diyakini lahir seiring eksistensi Kerajaan Kurri-Kurri, dan berakar dari pasangan kembar keturunan Tometingkudu Gassa Rangas dan Tomaballa’ Pala’ Bitti’na. Legenda Kurri-Kurri Managallang Dungkait, yang dibawa oleh Baligau dan Bulo Malalang Tampalang, menjadi bagian penting dari sejarah kerajaan ini. Saat kekuatan senjata tak lagi menjadi solusi, maka pernikahan antar keluarga kerajaan menjadi jalan damai. Kisah ini bahkan tercatat dalam hubungan diplomatik antara Kerajaan Gowa, Tallo, Bone, dan Mamuju.
Sebuah sumpah suci bernama Mattaroada’ diikrarkan sebagai simbol kehormatan dan persaudaraan antar kerajaan. Sumpah ini berbunyi:
Itanimating nge’balibi paccinna Bone tattapae risimboro bela, bela ada na tongngi ulu ada’ nabarakka nasaurekangngi ridewata…
Diiringi pekik serempak yang menggema:
Hoe pakanna….. hoeeee
Hoee bella….. hoooeeee
Hoee rangang….. hoee
Pada masa kejayaannya, Tari Pattu’du dibawakan oleh 12 penari pria yang mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan perisai dan tombak. Beberapa di antaranya mengenakan ikat kepala runcing, sementara lainnya bertelanjang dada, dihiasi kalung dan gelang emas sebagai simbol keberanian dan kejayaan.
Tari Pattu’du bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi warisan sakral yang hanya boleh dibawakan oleh warga asli Simboro. Nilai-nilai spiritual dan kulturalnya dijaga secara turun-temurun sebagai bagian dari identitas masyarakat setempat.
Tahun 1960 tercatat sebagai salah satu masa terakhir tarian ini tampil dalam bentuk aslinya, dipimpin oleh Balamang, nenek dari Muh. Fajrin, yang dikenal sebagai penari Tari Pattu’du versi Keke Muane—varian khas dari tarian tersebut.
Sebagai bagian tak terpisahkan dari pertunjukan adat, Tari Pattu’du juga diiringi oleh syair-syair sakral. Salah satu syairnya berbunyi:
Itangi mattingngi balibi paccinna Bone tatta
Tattappae risimboro bela ada kutattingngi, ulu ada’ kubarakkakusa
Kusandrekang ridewata bela duanna gimatti arolaku rimamuju mondro
Mondro ritana Simboro bela baru lakku’ leja, nasa’bukanna topa, topate
Hoee bella…
Hoe rangang…
Syair tersebut melambangkan keberanian, kesucian sumpah, serta ikatan spiritual antara tanah Simboro dan para leluhurnya.
Kini, Tari Pattu’du berada di ambang kepunahan. Seiring dengan kian minimnya pewarisan budaya dan perubahan zaman, hanya sedikit generasi muda yang mengetahui sejarah ini. Padahal, Kerajaan Kurri-Kurri dan Tari Pattu’du adalah dua sisi dari satu identitas budaya: jati diri masyarakat Simboro.
Pertanyaan pun tetap menggantung:
Benarkah Kerajaan Kurri-Kurri pernah ada? Siapakah para keturunannya kini?
Namun satu hal yang pasti:
Selama budaya dan ingatan masih dijaga, sejarah tak akan pernah benar-benar hilang.