Silabuskepri.co.id | Batam – Dugaan pelanggaran ketenagakerjaan kembali menyeruak di sebuah perusahaan pengolahan sendok plastik yang beroperasi di kawasan Tanjung Uncang, Batam. Seorang pekerja berinisial S mengaku harus bekerja selama 12 jam per hari dengan bayaran hanya Rp140 ribu per hari. Praktik ini dinilai jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Batam Tahun 2025 yang telah ditetapkan sebesar Rp4.989.600 per bulan.
S menuturkan tidak pernah menandatangani kontrak kerja atau perjanjian tertulis dengan pihak perusahaan. Ia bahkan menyebut upahnya diberikan oleh seorang perempuan bernama Fitri. Namun, pihak PT BBS ketika dikonfirmasi redaksi berdalih bahwa Fitri bukan bagian dari manajemen perusahaan, melainkan staf biasa.
Keterangan itu berbeda dengan pernyataan seorang petugas keamanan di lokasi. Menurutnya, perusahaan pengolahan sendok plastik tersebut hanya menyewa gedung milik PT BBS. Adapun pembayaran gaji yang disalurkan Fitri disebut berasal dari seseorang bernama Cipto, yang diduga sebagai pemilik usaha.
Namun, fakta lain justru menimbulkan kecurigaan. Dalam sebuah grup WhatsApp bernama “BBS Div Sendok”, Fitri tampak aktif memberikan arahan terkait pengelolaan karyawan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa aktivitas pengolahan sendok plastik tersebut masih berada di bawah kendali manajemen PT BBS.
Aktivis buruh Kota Batam, Anugrah Gusti, mengecam keras praktik ini.
“Kami menilai perusahaan ini sudah tidak menghargai negara Indonesia sebagai negara hukum. Dugaan kuat pelanggaran yang dilakukan merupakan bentuk penghinaan terhadap bangsa dan anak bangsa. Negara tidak boleh kalah. Aparat penegak hukum dan pemerintah harus segera hadir,” tegasnya melalui pesan WhatsApp, Rabu (1/10/2025).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, terdapat beberapa pelanggaran serius, antara lain:
Selain itu, Pasal 185 ayat (1) UU 13/2003 menegaskan bahwa pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah minimum dapat dikenai sanksi pidana penjara 1–4 tahun dan/atau denda Rp100 juta – Rp400 juta.
Aktivis buruh mendesak Disnaker Kota Batam dan Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Kepri segera memeriksa legalitas perusahaan, memastikan status hubungan kerja, serta menindak tegas dugaan pelanggaran ini. Publik menilai pemerintah tidak boleh membiarkan praktik eksploitasi buruh berlangsung, dan perusahaan yang tidak patuh hukum harus diberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.