Silabuskepri.co.id | Batam – Pekerjaan pembangunan tower pemancar jaringan di Kelurahan Sungai Langkai, Kecamatan Sagulung, masih terus berjalan meski mendapat penolakan keras dari warga sekitar.
Warga menilai pembangunan tower tersebut tidak transparan dan melanggar aturan tata ruang, karena didirikan tanpa sosialisasi dan berada di area sempadan sungai atau bibir parit — zona yang seharusnya dilindungi.
Menurut keterangan warga dari Kelurahan Sungai Langkai dan Kelurahan Tembesi, sejak awal mereka telah mempertanyakan kegiatan tersebut. Informasi awal yang diterima menyebutkan bahwa tower itu hanya bersifat sementara (temporary). Namun, kini terlihat jelas pembangunan pondasi permanen telah dilakukan di lokasi yang sama.
“Kemarin katanya tower itu hanya sementara. Tapi sekarang sudah dipasang pondasi untuk tower permanen. Jelas kami menolak pembangunan tersebut,” tegas salah seorang warga setempat.
Warga juga menilai pembangunan ini hanya menguntungkan pihak pemilik tower, sementara masyarakat di sekitar lokasi justru akan menerima dampak negatif—mulai dari gangguan kenyamanan, potensi bahaya keselamatan, hingga kerusakan ekosistem parit dan drainase lingkungan.
“Kalau bangunan di bantaran sungai boleh untuk tower, berarti warga juga boleh dong bangun rumah di situ. Ini jelas tidak adil,” sindir warga lain.
BP Batam Diminta Bertanggung Jawab
Hingga kini, media telah berupaya mengonfirmasi pihak BP Batam untuk memastikan apakah proyek pembangunan tower tersebut telah memiliki izin resmi pemanfaatan ruang sempadan sungai. Namun, BP Batam melalui Humas belum memberikan keterangan resmi.
Sikap diam ini menimbulkan asumsi negatif di kalangan masyarakat, bahwa pemerintah dalam hal ini BP Batam terkesan membiarkan pelanggaran tata ruang dan lingkungan hidup berlangsung tanpa pengawasan.
Pelanggaran Hukum yang Jelas
Perlu diketahui, pembangunan bangunan permanen di sempadan sungai dilarang keras oleh berbagai regulasi nasional. Di antaranya:
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, Pasal 16 ayat (1):
“Di sepanjang kiri dan kanan sungai dan saluran pengaman, baik di dalam maupun di luar daerah perkotaan, harus disediakan sempadan sungai.”
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Pasal 50 ayat (2):
“Setiap orang dilarang mendirikan bangunan permanen di sempadan sungai, kecuali untuk prasarana sumber daya air yang memiliki izin dan memenuhi ketentuan teknis.”
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 69:
“Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.”
Lebih jauh, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 98 dan 99, mengatur sanksi pidana bagi pihak yang menyebabkan kerusakan lingkungan atau merugikan masyarakat akibat pelanggaran tata ruang dan sempadan.
Pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran, pembekuan izin, hingga pembongkaran bangunan. Bila terbukti berdampak pada lingkungan dan keselamatan publik, pelaku dapat dijerat pidana lingkungan hidup.
Desakan Masyarakat
Warga meminta BP Batam, Dinas Lingkungan Hidup, dan aparat penegak hukum turun tangan segera menghentikan kegiatan tersebut sebelum menimbulkan kerusakan lebih luas.
“Kami hanya ingin aturan ditegakkan. Jangan ada tebang pilih. Kalau rakyat kecil dilarang bangun di sempadan sungai, seharusnya investor juga tidak boleh,” tutup salah seorang tokoh masyarakat Sungai Langkai.
Pembangunan tower pemancar di bibir sungai ini kini menjadi ujian serius bagi transparansi dan komitmen pemerintah dalam menegakkan hukum tata ruang dan perlindungan lingkungan di Kota Batam.
(PJS)