Keterbukaan Informasi “Salah Satu Cara mengatasi Korupsi di masa Pandemi Covid-19?

Foto : Ilustrasi

Pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia tanpa terkecuali. Pandemi ini tidak hanya memberikan efek negatif dalam hal kesehatan dan nyawa seseorang tetapi juga memberikan efek negatif dalam hal perekonomian masyarakat. Melihat kondisi tersebut, Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 melakukan penyelamatan atas kondisi penurunan pertumbuhan perekonomian Indonesia melalui kebijakan yang memberikan jaring pengaman terhadap kondisi tersebut.

Salah satu cara program yang dibentuk berdasarkan peraturan tersebut adalah bantuan sosial berupa sembako dan bantuan sosial tunai yang diatur lebih lanjut dalam Keputusan Kementerian Sosial No. 54/HUK/2020. Melalui keputusan tersebut, Kementerian Sosial memberikan amanat kepada Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin sebagai institusi yang menangani pelaksanaan penyaluran bantuan tersebut.

Faktor yang menjadi suatu pemicu melakukan tindak pidana tersebut ialah sebuah keserakahan, yang dikejar juga sebuah kekayaan. Dan sesungguhnya pelaku kejahatan korupsi maupun suap takut akan kemiskinan. Oleh karena itu, tidak salah lagi jika masyarakat sangat gerah dengan kejahatan yang satu ini. Sering kali asumsi maupun wacana yang dilontarkan guna memberi dan menambah efek jera bagi pelakunya, memiskinkan bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi, serta hukuman mati.

Setahun yang lalu tepatnya pada 6 Desember 2020 di kala pandemi emosi masyarakat sempat digodok oleh munculnya sebuah berita mengenai kasus korupsi Bansos yang dilakukan mantan menteri Kementrian Sosial, Juliari Batubara. Sejak munculnya pandemi di Indonesia pada awal tahun 2020, KemenSos membuat sebuah program Bantuan Sosial (Bansos) yang mengutus Juliari untuk menyalurkan bantuan tersebut kepada masyarakat yang terdampak di kala pandemi.

Juliari yang juga mengutus dua rekannya Matheus Joko S dan Adi Wahyono mendapat uang 10 Ribu untuk tiap paket Bansos yang disalurkan kepada masyarakat terdampak. Namun sayangnya, berdasarkan informasi dari berita Tempo.CO, Jakarta Juliari mendapatkan dana suap bansos sekitar kurang lebih 32,2 Miliyar yang mana dana tersebut diperoleh dari pengusaha dan beberapa perusahaan yang terikat dengan penyedia sembako untuk BanSos. Juliari sempat mengelak, dan tak tahu-menahu terkait kasus yang tengah menjerat kedua anak buahnya, hingga pada akhirnya Juliari menyerahkan diri kepada KPK. Uang dari hasil suap BanSos ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya yang juga dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan mantan Mensos tersebut.

Setelah terdakwa menyerahkan diri dalam ranah lingkup KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sidang demi sidang pun dijalani dan hasilnya ialah Juliari divonis hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar 600 juta subsidier selama enam bulan kurungan serta jumlah pidana untuk pengganti sebesar Rp. 14,5 Miliyar dilansir dari TEMPO.CO. Ia dijerat kasus atas perbuatan dengan melanggar Pasal 12A atau Pasal 12B atau Pasal 11 UU No.31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dalam UU No.20 Tahun 2001 mengenai pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Tentunya tuntutan hakim mengenai kasus BanSos yang tengah menjerat Juliari ini tidak sebanding dengan apa yang tengah ia lakukan kepada masyarakat apalagi di kala pandemi. Putusan hakim ini juga mempertimbangkan hukum sosial yang didapati Jualiari dan menjadi bulanan cercaan serta makian dari netizen. Putusan hakim bukanlah menjadi alasan logis untuk pidana yang dijatuhi kepada Juliari, sebab jika dilihat dari kasus yang begitu besar dan akan lebih pantas jika ia dihukum seumur hidup.

Alatas memberikan prespektif mengenai korupsi ialah sebagai penyalahgunaan kepercayaan atas keuntungan pribadi yang terdapat dalam tiga bentuk diantaranya nepotisme, pemerasan, dan penyogokan. Terdapat pula teori dan juga konsep mengenai korupsi dalam ranah sosiologi yakni hukum, norma, dan jaringan. Menurut prespektif sosiologi dalam kasus Juliari ini apabila dikaji dalam teori dan konsep hukum yang memandang bahwa sering kali hukum tidak seimbang karena lebih menguntungkan kelompok atau beberapa kelompok tertentu memang benar.

Juliari tidak pantas mendapatkan hukuman 12 tahun penjara dan denda subsidier sebesar 500 juta dalam kurun waktu enam bulan penjara sebab apa yang pernah ia lakukan sebelumnya tidak sebanding dengan penderitaan rakyat. Begitupun juga dengan norma, ia melanggar etika dan norma baik sebagai seorang pejabat yang seharusnya dapat memberikan manfaat serta mengayomi masyarakat tetapi sebaliknya ia malah menyengsarakan rakyatnya.

Dan terakhir yakni kasus Juliari dalam prespektif sosiologi ini berkaitan pula dengan jaringan yang mana tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh perseorangan saja, namun melibatkan dua pihak lain yang diutus sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan juga perusahaan lain yang memberikan fee tambahan untuk pelaku atau tersangka.
Hal korupsi seperti ini memang sering terjadi di Indonesia. Penyebab korupsi dapat dijelaskan oleh berbagai teori termasuk teori Principal Agent Theory. Teori ini menjelaskan bahwa korupsi disebabkan karena adanya hubungan antara pihak – pihak yang terlibat untuk melakukan kerjasama. Dalam kerjasama ini terjadi adanya korupsi karena adanya sistem dan keputusan yang memberikan kemungkinan untuk melakukan adanya tindakan korupsi ( Jensen dan Meckling, 1976).

Adanya kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi disebabkan juga karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas yang belum dilakukan oleh suatu perusahaan. Dengan kurangnya hal tersebut maka akan ada area abu atau grey area yang memudahkan pelaku untuk melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dalam prinsip good governance ( UNDP,1997) dijelaskan bahwa untuk mencapai suatu pemerintahan yang baik salah satu prinsip yang dibutuhkan adalah transparansi dan akuntabilitas sehingga masyarakat dapat menilai dan melihat kinerja pemerintahan.

Transparansi dan akuntabilitas dibuktikan di Indonesia dengan adanya Undang – Undang No. 14 Tahun 2008 mengenai keterbukaan informasi publik. Informasi publik yang dimaksud dalam peraturan ini adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan dan/atau penyelenggara dan penyelenggara badan publik lainnya sesuai dengan undang – undang. Dalam Pasal 11 dijelaskan lebih lanjut bahwa informasi tersebut berupa kebijakan, rencana kerja proyek, serta perkiraan pengeluaran tahunan dengan pihak ketiga.

Di era digital 4.0 perkembangan industri bergerak sangat cepat, keterjankauan informasi menjadi lebih mudah dan menjadi kunci berjalannya peradaban baru yang semakin maju. Sampai dimana kebiasaan digital sudah mendarah daging bagai menjadi bagian DNA setiap milenial. Revolusi digital serba instan dapat kita rasakan sebagaimana kemudahan yang kita rasakan dalam berbagai hal, yang paling menonjol dalam hal ini yakni, paparan-paparan informasi kebudayaan yang dapat mudah kita ketahui sekalipun tidak sedang kita cari.

Bisnis digitalisasi seperti menyilap mata milenial untuk tetap stand by di depan paparan gadget dan internet tanpa kenal batas waktu. Rentetan koneksi komunikasi yang dengan mudah menghubungkan satu dengan lainnya menjadi sangat menakutkan apalagi ketika kita sadari terkadang apa yang kita bicarakan terealisasikan dalam bentuk iklan pop up yang muncul pada laman internet yang sedang kita buka. Hal ini menunjukann bahwa perkembangan bisnis digitalis yang semakin gencar menarik market.

Perkembangan media informasi dengan kemudahan aksesnya sering kali menimbulkan berbagai konflik serta personal publikatif (yang sering disebut sebuah konten viral) digital yang melibatkan masa yang luas. Konsumsi publik dalam media tontonan tak hanya menyebar dalam kancah nasional. Namun, merebak hingga multi nasional.

Tak lantas campur tangan bisnis digitalis ikut terlibat dalam hal ini Berkaitan dengan kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh Julian Bahari ternyata salah satu halnya disebabkan karena kurangnya keterbukaan informasi kepada publik. Berdasarkan fakta yang diungkapkan oleh Dewi Anggraini, Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch ( ICW), masih banyak informasi penggunaan anggaran Covid-19 yang susah untuk diakses dan hanya dapat diperoleh dari media. Hal ini dicontohkan dengan adanya pengadaan yang memiliki nilai lebih dari Rp.200 juta tetapi nama yang digunakan dalam SiRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) tidak dirinci dengan jelas.

Selain itu, tidak adanya transparansi dan keadilan bagi penerima bantuan sosial akibat pandemi Covid-19 ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat 1.550 keluhan terkait penyaluran bansos yang dilakukan hingga 23 Oktober 2020. Keluhan ini didasarkan pada banyaknya masyarakat yang belum menerima bantuan sosial tersebut meskipun pada kenyataannya sudah mendaftar kepada petugas yang berwenang. Dengan banyaknya aduan yang ditujukkan kepada KPK, membuktikan bahwa transparansi data penerima bansos dan kinerja yang dilakukan oleh penyalur bantuan sosial tersebut kurang terbuka sehingga akses masyarakat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di pemerintahan sangat minim.

Pro kontra mengenai kasus Juliari ini sempat menyenggol wacana hukuman mati. Beberapa yang tidak setuju mengatakan jika hukuman mati tidak efektif karena dianggap melanggar prinsip hak asasi manusia. sebab, hidup merupakan hak yang telah melekat dalam kehidupan manusia, sehingga negarapun tidak seharusnya mencabut kehidupan seseorang terutama dari hukuman mati. Namun, sebenarnya hukuman mati bagi koruptor ini sangat efektif dan kemungkinan bisa memberikan efek jera tersendiri bagi pelaku tindakan korupsi dalam keadaan tertentu yang telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya.

Temuan yang begitu mengejutkan ialah ketika Juliari yang sudah memakan uang rakyat untuk menyewa jet pribadi, memohon kepada hakim untuk membebaskan hukuman dikarenakan ia harus menanggung anak dan istri dirumah serta ia bahkan memohon maaf kepada Jokowi selaku Presiden RI dan juga partai PDI-P. Dengan tanpa rasa malu ia memohon hal tersebut, dan bahkan ia tidak merasa bersalah atas kasus yang telah ia perbuat. Juliari pun juga memohon keringanan kasus karena ia merasa tertekan dengan cercaan netizen yang semakin menjadi. Hal tersebut menurut saya wajar, karena dengan begitu sanksi sosial akan menambah efek jera bagi pelaku, terlebih pelaku korupsi disaat Indonesia sedang gentingnya terkena wabah pandemi.

Untuk itu, Pemerintah harus tegas dan bersungguh-sungguh dalam memberantas korupsi yang semakin menjadi. menyita aset, memvonis hukuman penjara, atau mengganti rugi hasil dari korupsi tidak selalu membuat pelaku jera. Bahkan, kasus korupsi hingga saat ini semakin meningkat dan semakin besar pula kerugian negara akibat kasus korupsi. Kasus Juliari tidak hanya merugikan negara, melainkan juga merugikan rakyat dalam perekonomian. tak hanya kasus Juliari saja, bahkan masih ada rentetan kasus lainnya yang tak henti soal korupsi. Selain hukuman yang ditegakkan, aparat hukum juga harus tegas dalam mengadili setiap perkara dengan sebisa mungkin tidak menerima penyuapan yang dilakukan terdakwa korupsi. Jadi, hukuman mati tentu akan efektif, dengan begitu diharap siapapun akan takut apabila melakukan tindakan korupsi dan tidak ada lagi kasus-kasus baru yang merugikan negara maupun rakyat sendiri.

Selain itu juga, berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya korupsi terhadap pengadaan bantuan sosial tersebut dilatarbelakangi adanya kesempatan yang disebabkan karena tidak ada transparansi dan keterbukaan informasi mengenai bantuan sosial. Meskipun pada dasarnya sudah ada peraturan yang mengatur mengenai keterbukaan informasi tetapi pada kenyataannya hal ini belum efektif dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa kendala seperti dibutuhkannya waktu, tenaga, dan uang yang tidak sedikit untuk memberikan informasi kepada publik. Hal lain yang menjadi masalah adalah tidak ada sanksi yang diberikan kepada pejabat publik apabila tidak memberikan informasi kepada masyarakat .

Kendala yang menyebabkan tidak terlaksananya pengimplementasian UU KUP tidak hanya dari segi internal saja tetapi dari segi masyarakat pula seperti menurunnya partisipasi masyarakat untuk meminta keterbukaan informasi kepada badan publik ( LAT KI, 2019).

Penyebab lain adalah rendahnya kapasitas kelompok warga dalam memanfaatkan informasi publik. Kurangnya perhatian pemerintah dalam menyosialisasikan terkait informasi korupsi juga menjadi suatu hambatan untuk pemberantaan korupsi di kalangan masyarakat bawah yang masih terkesan awam terhadap hukum undang-undang yang telah ditetapkan.

Tentunya dengan keterbukaan informasi mengenai kasus-kasus yang belum sempat menjadi pembahasan hangat di sosial media dapat membantu pemerintah untuk menegakkan hukum terkait korupsi yang semakin meningkat. Relevansi media pada dasarnya merupakan aspek penting dalam menyebar luaskan informasi sebab media dapat menghancurkan kredibilitas pelaku dan memberikan sanksi sosial bagi pelaku melalui stigmasisasi negatif dari masyarakat.(*)

Penulis : Patricia Citra Pramesthi ( Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Fiskal )
1. Mengenal Gratifikasi. (2017, December 10). Kpk.go.id. https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/gratifikasi/mengenal-gratifikas
2.M Rosseno Aji. (2021, February 15). ICW Nilai KPK Enggan Periksa Politikus di Kasus Bansos Covid-19. Tempo; TEMPO.CO. https://nasional.tempo.co/read/1432953/icw-nilai-kpk-enggan-periksa-politikus-di-kasus-bansos-covid-19
3.Nurviana, V., Budiyono, E., & Haryono. (n.d.). PERANAN BANTUAN SOSIAL DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN KELUARGA BURUH TANI DI DESA TOTOKATON KECAMATAN PUNGGUR KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2012. Retrieved December 11, 2021, from https://media.neliti.com/media/publications/249887-peranan-bantuan-sosial-dalam-upaya-penge-b6d9608a.pdf
4.Wahyuni Sahara. (2021, August 23). Awal Mula Kasus Korupsi Bansos Covid-19 yang Menjerat Juliari hingga Divonis 12 Tahun Penjara Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.com; Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2021/08/23/18010551/awal-mula-kasus-korupsi-bansos-covid-19-yang-menjerat-juliari-hingga-divonis?page=all

5.Diamanty Meiliana. (2021, September). Terdakwa Korupsi Bansos Covid-19 Matheus Joko Divonis 9 Tahun Penjara. KOMPAS.com; Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2021/09/01/23065841/terdakwa-korupsi-bansos-covid-19-matheus-joko-divonis-9-tahun-penjara

You might also like