Silabuskepri.co.id, Batam — Terkait peredaran barang tanpa label SNI , bahkan sudah tidak rahasia umum lagi peredarannya di kota batam, jenis barang yang beredar dari prabot rumah tangga, mainan hingga pakaian jadi sangat mudah di peroleh di pasaran. Barang barang tersebut berasal Malaysia, seperti halnya toko Oki Serba 8000, ribuan keramik di seraya jodoh, dan juga gudang penyinpanan perabot rumah tangga yang tidak berlabel SNI, menjadi bukti terkait lemahnya pengawasan pihak instansi terkait.
Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Batam SUSILA BRATA, kepada silabuskepri.co.id saat dijumpai saat konfres tangkapan sabu 1 ton sabu pada hari sabtu, 10/02/2018. Di lantamal Batam mengatakan, kinerja Bea Cukai dalam mengawasi masuknya barang ke kota batam, sudah melakukan maksimal dan sudah membuat tiga sistem yakni
1. Melakukan tindakan patroli rutin.
2. Terkordinasi dengan pihak terkait dengan patroli insindentil.
3.Sistem marketing yang dalam operasinya sudah memiliki target.
Kata Susila Brata, apabila dirinya menemukan barang ilegal akan menyegel dan menindak sesuai proseder UU yang berlaku, dan tetap bekerja sama dengan dinas terkait untuk pengawasan masuknya barang ke kota batam.
Penuturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, menjelaskan Pada prinsipnya” pengawasan post-border dilakukan untuk mempercepat pengeluaran barang dari pelabuhan tanpa menghilangkan rantai tata niaga dan juga Mekanisme pengawasan tergantung masing-masing kementerian lembaga, namun polanya tetap harus memperhatikan manajemen risiko dan tidak menghalangi penggunaan barang,” jelasnya.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai.
Terkait perubahan sistem border ke
post-border. Pemerintah memutuskan untuk menyederhanakan tata niaga impor melalui pergeseran pengawasan ketentuan sejumlah barang yang terkena Larangan Pembatasan (Lartas). Jika sebelumnya pengawasan dilakukan di kawasan pabean (border), ke depan diubah menjadi di luar kawasan pabean (post-border).
“Kebijakan untuk mempermudah dan mempercepat arus barang di pelabuhan ini, akan mulai berlaku 1 Februari 2018 melalui sistem Indonesia National Single Window (INSW),” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (31/1).
Darmin menjelaskan, kebijakan di pintu masuk barang impor ini bertujuan mendorong daya saing industri yang membutuhkan bahan baku impor, daya saing ekspor serta efisiensi kebutuhan konsumsi.
Selain itu, kebijakan ini sekaligus merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam kerja sama perdagangan internasional serta mendukung kelancaran arus barang ekspor-impor di pelabuhan (dwelling time) yang melengkapi instrumen INSW, Pusat Logistik Berikat (PLB) dan manajemen risiko.
“Pada prinsipnya pengawasan post-border dilakukan untuk mempercepat pengeluaran barang dari pelabuhan tanpa menghilangkan rantai tata niaga,” kata Darmin.
Pengawasan post-border ini berlaku bagi bahan baku yang menggunakan sistem post audit terhadap industri pemakai, serta bagi barang konsumsi yang menggunakan sistem risk management atau persyaratan pra edar. Misalnya label Makanan Luar yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Pengawasan post-border ini tidak diberlakukan untuk ekspor,” tambah Darmin.
Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah juga mengurangi pengawasan barang Lartas dari sebanyak 5.229 kode HS atau 48,3% saat ini, menjadi hanya sebesar 2.256 Kode HS atau 20,8% dari total 10.826 kode HS.
Sebagai perbandingan, rata-rata negara ASEAN menetapkan pengawasan barang Lartas di kawasan pabean hanya sebesar 17% Kode HS. Pemerintah juga telah melakukan perubahan 25 regulasi dari tujuh Kementerian Lembaga untuk kebijakan ini yaitu Kementerian Perdagangan sebanyak 19 regulasi, Kementerian Kesehatan sebanyak satu regulasi dan Kementerian Pertanian sebanyak satu regulasi).
Selain itu, Kementerian ESDM sebanyak satu regulasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika sebanyak satu regulasi dan BPOM sebanyak dua regulasi. Sedangkan, perubahan 37 regulasi di Kementerian Perindustrian telah ditampung dalam perubahan tentang Standardisasi Bidang Perdagangan.
Perubahan regulasi dari tujuh kementerian ini akan mengakibatkan sejumlah 2.859 kode HS atau sebesar 26,4% dari total kode HS digeser ke post-border. Sisanya sebanyak 2.370 kode HS atau sebesar 21,89% dari total kode HS tetap berada di kawasan pabean.
Meski terdapat penyederhanaan tata niaga impor, otoritas kepabeanan dan cukai tetap melakukan fungsi pengawasan terhadap hal-hal yang menyangkut keselamatan, keamanan, dan kesehatan masyarakat.
Pemerintah juga memberikan pengecualian tata niaga bagi 381 reputable traders yang tergolong operator khusus, mitra utama dan pengusaha yang memanfaatkan KITE untuk meningkatkan kelancaran arus barang di pelabuhan dan mengurangi dwelling time.
Secara keseluruhan, pemerintah memastikan kebijakan ini merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk melaksanakan nilai-nilai yang sudah disepakati dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Persyaratan Impor
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyebutkan, pergeseran pengawasan produk tata niaga impor dari border ke post-border yang akan diberlakukan pada 1 Februari 2018 tidak menghilangkan persyaratan impor.
“Pergeseran tersebut tidak menghilangkan persyaratan impor. Pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh Bea Cukai, setelah digeser ke post-border maka pengawasan dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait,” kata Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny.
Ia menjelaskan, DJBC akan tetap melakukan penelitian tarif dan nilai pabean untuk memastikan ketepatan dalam penetapan tarif. “Jangan sampai karena diawasi kementerian dan lembaga, maka Bea Cukai tidak melakukan penelitian,” kata Fadjar.
Untuk membantu kerja pengawasan oleh kementerian dan lembaga, DJBC telah menyusun buku mekanisme pengawasan post-border. Buku tersebut memuat informasi alur data pengawasan, prinsip manajemen risiko, dan bentuk pengawasan di post-border.
“Mekanisme pengawasan tergantung masing-masing kementerian lembaga, namun polanya tetap harus memperhatikan manajemen risiko dan tidak menghalangi penggunaan barang,” ucapnya.
Konsep usulan dari DJBC kepada kementerian dan lembaga untuk pengawasan post-border antara lain penelitian dokumen melalui analisis data, spot check, dan post-audit atau pemeriksaan setelah barang keluar.
Pergeseran pengawasan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menyelesaikan tata niaga di bidang impor, terutama untuk mengurangi barang yang masuk kategori larangan atau pembatasan (lartas).
Saat ini, jumlah barang lartas yang tercatat dan menjadi beban dari otoritas bea dan cukai mencapai sekitar 48,3% atau 5.229 pos tarif atau harmonized system code(HS code). Klasifikasi seluruh barang yang diimpor adalah 10.826 HS code.
Melalui pergeseran pengawasan, jumlah barang yang masuk kategori lartas akan dikurangi hanya menjadi sekitar 20,8% atau 2.256 HS code. Kriteria barang yang masih dipertahankan untuk diperiksa di bordermemperhatikan aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan (K3L).
Fadjar menjelaskan tujuan pengawasan post-border atau di luar pos pengawasan pabean adalah untuk mengurangi penumpukan container. Sehingga mampu menurunkan waktu tunggu bongkar muat barang (dwelling time) dan mengurangi biaya logistik.
Dari penjelasan diatas publik pun bertanya, apakah dengan perubahan sistem border ke post-border, membebaskan barang tanpa Label SNI dan juga batang tanpa bahasa indonesia dilegalkan? (P.sib)