Silabuskepri.co.id | Batam — Dugaan penyalahgunaan data pekerja kembali mencuat di lingkungan industri galangan kapal Batam. Seorang mantan pekerja berinisial HPP mengaku gagal mengajukan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) karena sistem mendeteksi dirinya masih terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan atas nama PT Putra Barokanda Maju, salah satu subkontraktor (mitra kerja) di area PT ASL Shipyard Batam.
Padahal, menurut pengakuannya, HPP sudah tidak lagi bekerja sejak enam bulan lalu akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tidak pernah menandatangani surat penerimaan kerja baru ataupun memberikan izin aktivasi BPJS di perusahaan lain.
“Saya kaget ketika mau ajukan JKP, ternyata status saya masih aktif di BPJS. Padahal saya sudah lama berhenti kerja. Saya juga tidak pernah diminta tanda tangan atau persetujuan apapun,” ungkap HPP saat ditemui media, Kamis (23/10/25) di tannung uncang.
Dikonfirmasi terpisah, Eka, selaku time keeper PT Putra Barokanda Maju, membenarkan adanya pendaftaran nama HPP dalam sistem BPJS Ketenagakerjaan, namun berdalih hal tersebut dilakukan semata-mata untuk memenuhi syarat administratif induction di area kerja PT ASL Shipyard.
“Tidak ada penyalahgunaan data. Salah satu syarat induction di ASL memang harus melampirkan bukti daftar BPJS Ketenagakerjaan. Kami daftarkan supaya yang bersangkutan bisa siap bekerja jika proyek dimulai,” jelas Eka melalui pesan konfirmasi.
Ia menambahkan, pada saat itu perusahaan sedang mempersiapkan tenaga kerja untuk proyek baru yang akhirnya dibatalkan (cancel).
“Setelah proyek dibatalkan, data yang bersangkutan sudah kami hapus dari sistem BPJS,” ujarnya.
Meski pihak perusahaan mengklaim sudah menonaktifkan data, status keaktifan HPP sempat terbaca aktif di sistem BPJS Ketenagakerjaan, sehingga permohonan JKP ditolak oleh sistem. Kondisi ini menimbulkan kerugian administratif dan hak sosial bagi HPP yang semestinya berhak atas manfaat JKP pasca-PHK.
Praktik semacam ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah perusahaan diperbolehkan mendaftarkan calon pekerja tanpa ada hubungan kerja yang sah dan tanpa persetujuan tertulis dari pemilik data pribadi?
Dalam konteks regulasi ketenagakerjaan dan perlindungan data di Indonesia, tindakan tersebut berpotensi melanggar sejumlah ketentuan perundang-undangan, antara lain:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menegaskan bahwa hubungan kerja hanya dapat terjadi berdasarkan perjanjian kerja yang disetujui kedua belah pihak.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang mewajibkan pendaftaran peserta dilakukan berdasarkan hubungan kerja yang sah.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, yang melarang penggunaan atau pemrosesan data pribadi tanpa persetujuan eksplisit dari pemilik data.
Apabila terbukti ada pihak yang menggunakan data pribadi seseorang untuk keperluan administrasi ketenagakerjaan tanpa dasar perjanjian kerja, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi dan pelanggaran hak atas data pribadi, yang berpotensi menimbulkan sanksi hukum administratif maupun pidana.
Kasus dugaan aktivasi BPJS tanpa izin ini mencuat di tengah sorotan publik terhadap tata kelola ketenagakerjaan di lingkungan PT ASL Shipyard Batam, yang sebelumnya juga disorot terkait:
Dugaan pelanggaran Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3),
Tragedi ledakan kapal MT Federal II yang menewaskan puluhan pekerja, dan
Keluhan pekerja tentang upah di bawah UMK serta lemahnya pengawasan terhadap vendor dan subkontraktor.
Kini, temuan baru ini menambah panjang daftar persoalan ketenagakerjaan yang mencerminkan lemahnya sistem pengawasan terhadap perusahaan mitra dan administrasi tenaga kerja di kawasan industri strategis tersebut.
Sejumlah pengamat ketenagakerjaan di Batam menilai, temuan ini harus menjadi alarm serius bagi Dinas Tenaga Kerja, BPJS Ketenagakerjaan, dan manajemen PT ASL Shipyard.
Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan terhadap mekanisme rekrutmen, induction, dan verifikasi data tenaga kerja yang dikelola oleh vendor atau subkontraktor.
“Jangan sampai data pekerja dijadikan alat formalitas agar proyek jalan, sementara hak pekerja dikorbankan. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, tapi bentuk pelanggaran yang menyangkut hak sosial dan hukum,” ujar salah satu aktivis ketenagakerjaan lokal.
Pemerintah daerah dan instansi terkait pun diharapkan tidak hanya menunggu laporan masyarakat, tetapi proaktif melakukan audit dan penelusuran administratif di sektor galangan kapal — mengingat industri ini mempekerjakan ribuan pekerja kontrak dan subkontraktor dengan sistem yang rentan disalahgunakan.
Kasus HPP menjadi contoh nyata bagaimana celah administratif dapat merugikan pekerja secara langsung.
Satu aktivasi tanpa izin bisa menutup akses terhadap hak jaminan sosial, sementara tanggung jawab hukum kerap mengambang di antara perusahaan utama, vendor, dan lembaga penyelenggara.
Di tengah maraknya kasus pelanggaran ketenagakerjaan di Batam, peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak — pemerintah, BPJS, dan pelaku industri — untuk memperkuat integritas sistem ketenagakerjaan agar tidak lagi ada pekerja yang dirugikan karena birokrasi dan kelalaian administratif.
Hingga berita ini diluncurkan wartawan media ini masih berupaya, melakukan konfirmasi ke kepala Dinas Ketenaga kerjaan Prov Kepri dan BPJS Ketenaga Kerjaan (red)