Silabuskepri.co.id | Batam — Dugaan praktik penimbunan limbah elektronik berbahaya (B3) secara ilegal kembali mencuat di kawasan industri Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji, Kota Batam. Sebuah rekaman video yang beredar di media sosial memperlihatkan aktivitas penimbunan material yang diduga limbah elektronik impor di lahan milik PT Active Marine Industries (AMI). Aktivitas itu disebut dilakukan oleh PT Cakrawala, perusahaan pengolah limbah elektronik yang menyewa lahan tersebut.
Hasil penelusuran lapangan menunjukkan tumpukan material yang sebagian telah tertimbun tanah merah dan dicor dengan beton, diduga untuk menutupi sisa aktivitas sebelumnya. Beberapa warga sekitar mengaku bahwa kegiatan penimbunan dan pengecoran dilakukan pada malam hari secara bertahap, tanpa ada pemberitahuan resmi kepada lingkungan sekitar.
Sebagaimana diketahui, impor limbah elektronik telah dilarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena termasuk kategori limbah B3 yang berpotensi mencemari tanah, air, dan udara, serta membahayakan kesehatan manusia. Larangan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pada Kamis (6/11/2025), tim media melakukan konfirmasi langsung di lokasi. Perwakilan PT Cakrawala membantah bahwa material yang ditimbun merupakan limbah elektronik, mengklaim bahwa material tersebut hanya “puing bangunan dari belakang workshop”. Namun, hasil observasi menunjukkan adanya serpihan komponen elektronik, kabel, dan material bekas impor, yang justru memperkuat dugaan bahwa aktivitas pengolahan limbah memang terjadi.
Saat dimintai keterangan terkait legalitas izin pengelolaan limbah, pihak perusahaan mengakui bahwa izin masih dalam proses pengurusan. Padahal, menurut warga sekitar, aktivitas pengolahan sudah berjalan selama beberapa bulan terakhir, menimbulkan dugaan kuat bahwa perusahaan telah beroperasi tanpa izin resmi.
Ketika diminta bertemu pimpinan perusahaan, perwakilan menyebut bahwa manajemen sedang mengurus “barang impor yang tertahan”, dan mengklaim bahwa barang sudah sebulan tidak masuk. Pernyataan ini justru memunculkan pertanyaan serius:
Apakah sebelumnya perusahaan rutin mendatangkan limbah elektronik dari luar negeri?
Mengapa pengolahan sudah dilakukan jika izin baru “dalam proses”?
Jika material tersebut bukan limbah, mengapa harus ditimbun dan ditutup tanah?
Jika izin belum lengkap, mengapa kegiatan tetap berjalan?
Jika impor limbah elektronik dilarang, dari mana asal material bekas elektronik itu?
Mengapa PT AMI selaku pemilik lahan membiarkan aktivitas tersebut?
Dan di mana peran pengawasan DLH Batam, KLHK, Bea Cukai, serta aparat penegak hukum?
Jika dugaan ini terbukti, maka aktivitas tersebut berpotensi melanggar sejumlah regulasi penting, antara lain:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1995.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak hanya berdampak administratif, tetapi juga dapat dikenakan sanksi pidana berat, termasuk kurungan dan denda miliaran rupiah.
Kasus ini menegaskan bahwa kejahatan lingkungan bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi tindakan yang merampas hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Penimbunan limbah elektronik ilegal merupakan ancaman serius terhadap ekosistem dan masa depan generasi mendatang.
Redaksi independennews.com masih menunggu klarifikasi resmi dari DLH Batam, KLHK, Bea Cukai, dan aparat penegak hukum terkait temuan ini. Jika benar limbah elektronik berbahaya ditimbun di kawasan industri Batam, maka hal ini patut dikategorikan sebagai kejahatan ekologi yang harus diusut tuntas dan tidak boleh ditoleransi.
(Tim Pjs)