Utopia dalam Asas Netralitas Aparatur Sipil Negara

Foto : Sutan Akbar Kemal Syarief Putra Wibisana

Oleh: Sutan Akbar Kemal Syarief Putra Wibisana
[email protected] “Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Administrasi Negara, Universitas Indonesia”

Asas netralitas merupakan salah satu aspek dalam kode etik Aparatur Sipil Negara. Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, asas netralitas berarti ASN terbebas dari segala macam bentuk intervensi atau pengaruh dari pihak manapun, serta tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Sangat utopia, bukan? Pada prakteknya, asas netralitas ini terinstitusionalisasi dalam proses pengambilan keputusan maupun implementasi kebijakan publik, di mana ASN sebagai administrator publik harus mengimplementasikan kebijakan secara objektif, impartial, dan netral.

Namun, jangan lupa bahwa objektivitas artinya value-neutral. Masih ingat dikotomi politik-administrasi yang dicetuskan oleh Woodrow Wilson? Wilson menyatakan bahwa politik bertanggung jawab dalam proses pembuatan kebijakan, sedangkan administrasi bertanggung jawab dalam implementasinya. Menurut dikotomi ini, administrator publik berperan sebagai agent yang mengimplementasikan kebijakan yang dibuat oleh politisi (principal). Namun, bukankah relasi yang ada jauh lebih rumit, di mana terdapat multi-principals, yaitu masyarakat yang dilayani oleh administrator publik, di samping politisi?

Ethics of Neutrality, Ethics of Structure, dan Profesi ASN

Asas netralitas yang berarti ASN tidak boleh memihak kepentingan siapapun memiliki implikasi bahwa profesi ASN sebenarnya purposeless. Mengapa purposeless? Katanya ASN untuk melayani publik, tapi prinsip objektivitas menghalangi mereka untuk memihak kepada publik, terutama ketika undang-undang yang dihasilkan oleh DPR tidak cukup merepresentasikan kepentingan publik. Lalu, kalau ASN dipaksa untuk objektif, apa gunanya diskresi ASN untuk membentuk peraturan turunan administratif untuk menghasilkan pelayanan publik yang lebih transparan, efektif, dan efisien? Dalam literatur etika administrasi, Dennis Thompson dalam artikelnya yang berjudul The Possibility of Administrative Ethics menyatakan terdapat dua tantangan dalam menciptakan iklim etika administrasi yang sesuai dengan kepentingan publik, yaitu the ethics of neutrality dan the ethics of structure.

Ethics of neutrality secara normatif menyatakan bahwa birokrat tidak dapat dianggap sebagai moral subjects yang mampu mengekspresikan value judgments-nya. Etika jenis ini sama dengan asas netralitas yang dianut dengan ASN di Indonesia. Implikasinya adalah birokrasi tidaklah lebih dari medium dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah, di mana diskresi birokrasi dalam menciptakan remedy bagi undang-undang yang masih belum mampu merepresentasikan kelompok minoritas terbatas. Hal ini merupakan suatu kompromi bagi tujuan daripada profesi birokrasi itu sendiri, yaitu untuk melayani kepentingan publik. Namun di sisi lain, implikasi dari asas netralitas ASN yang dianut di Indonesia dalam hal implementasi kebijakan publik juga berbeda dengan kenyataannya.

Hal ini dapat kita lihat pada fenomena Virtual Police yang digagas oleh Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo. Polri bertindak sebagai agent untuk mengimplementasikan penegakan hukum berdasarkan UU ITE yang dibuat oleh DPR (sebagai principal). Namun dalam implementasinya, Polri jelas memiliki diskresi dalam menggunakan value judgements-nya dalam menginterpretasikan UU ITE bersama ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli UU ITE. Jangan lupa juga bahwa Virtual Police ini bertujuan untuk mengurangi tingkat kriminalisasi, di mana tindak pidana dijadikan solusi terakhir. Sehingga, inisiasi Virtual Police didasarkan oleh prinsip restorative justice. Jauh sekali bukan, dari prinsip value-neutral dan objektivitas birokrasi?

Adanya kesenjangan antara asas netralitas dengan kenyataan yang sebenarnya membuktikan bahwa birokrasi tidak dapat sepenuhnya bebas dari objektivitas, khususnya dalam konteks implementasi kebijakan publik. Dalam kasus Virtual Police, jelas inisiasi ini telah mengesampikan prinsip formalisme hukum di mana Virtual Police juga mengimplikasikan bahwa terdapat kesenjangan dalam beberapa pasal karetnya. Namun, Polri bertindak sebagai implementasi daripada UU ITE itu sendiri dengan mengedepankan prinsip restorative justice melalui mediasi untuk mengurangi angka kriminalitas karena UU ITE. Terbukti bukan, bahwa birokrasi dapat berperan pula sebagai obat terhadap kebijakan politisi yang kacau?

Kedua, the ethics of structure. Etika ini menyatakan bahwa birokrat tidak dapat dianggap sebagai moral objects. Artinya, birokrat tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara moral, karena setiap kebijakan yang diimplementasikannya merupakan suatu kebijakan yang dihasilkan oleh organisasi di mana birokrat tersebut bekerja. Jika Anda membaca buku Blink oleh Malcolm Gladwell, Anda akan sadar bahwa kita semua memiliki unconscious bias yang dapat mempengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan. Objektivitas itu sulit, kalau bukan tidak mungkin.

Menurut saya, ASN yang profesional bukan ASN yang objektif. Kenapa? Profesi sebagai politisi dikatakan profesional jika politisi tersebut merepresentasikan konstituennya. Bukannya akan lebih pas kalau ASN dikatakan profesional jika mereka melayani publik dengan baik dan responsif? “Baik” dan “responsif” sendiri merupakan kata sifat yang mengandung nilai. Namun pada nyatanya, literatur-literatur administrasi publik mulai seperti Max Weber dan Woodrow Wilson menekankan pada kemandirian, objektivitas, dan netralitas birokrasi sebagai sesuatu yang sakral. Bukankah kita semua, terutama para akademisi, memiliki kecenderungan psikologis dan intelektual untuk memilih objektivitas daripada subjektivitas? Kita mendapatkan ketenangan dan rasa kepastian dalam objektivitas suatu ilmu pengetahuan yang telah melalui proses penelitian empiris, namun kita menciptakan analogi terhadap hasil daripada prinsip objektivitas tersebut terhadap manusia yang pada dasarnya memiliki kepentingan masing-masing.

Human-Centered Approach bagi ASN

Dalam hal ini, kita cenderung terlalu mengagungkan (overestimate) karakteristik birokrasi yang objektif dan bebas daripada pengaruh politik; dan overestimation ini secara tidak langsung meremehkan karakter politik yang subjektif, partisan, dan penuh dengan nilai. Hal ini dikarenakan lebih muda bagi kita sebagai konstituen untuk menyalahkan mereka yang terpilih, yaitu politisi, daripada mereka yang ditunjuk, yaitu birokrat, atas segala kegagalan dalam implementasi kebijakan publik.

Namun di sisi lain, kita mengagung-agungkan karakter birokrasi yang objektif, sembari mengutuk patologi birokrasi seperti praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang jelas-jelas mengimplikasikan bahwa birokrasi tidak objektif. Pada akhirnya, terdapat opportunity cost yang cukup besar dalam memperlakukan birokrasi sebagai mesin semata yang bebas dari pengaruh nilai: kita mengutuk politisi atas segala kegagalan kebijakan publik di mana seringkali kegagalan tersebut disebabkan oleh kompetensi birokrat yang buruk, namun di sisi lain tidak mampu meminta pertanggungjawaban mereka secara moral.

But the challenge persists: Why treat them as inhumane when they’re all humans anyway?

REFERENSI

Gladwell, M. (2005). Blink: The Power of Thinking Without Thinking. New York: Little, Brown and Co.

Haryanto, A. (2021, Februari 25). Apa Itu Virtual Police? Aturan, Cara Kerja dan Kaitan dengan UU ITE. Tirto.ID. https://amp.tirto.id/apa-itu-virtual-police-aturan-cara-kerja-dan-kaitan-dengan-uu-ite-gaBQ

Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38580/uu-no-5-tahun-2014

SKELLEY, B. D. (2008). THE PERSISTENCE OF THE POLITICS-ADMINISTRATION DICHOTOMY: AN ADDITIONAL EXPLANATION. Public Administration Quarterly, 32(4), 549–570. http://www.jstor.org/stable/41288331

Thompson, D. F. (1985). The Possibility of Administrative Ethics. Public Administration Review, 45(5), 555–561. https://doi.org/10.2307/3109930

You might also like