Kasus Tragedi 1965 Harus Diselesaikan

Majelis Hakim International People’s Tribunal (IPT) kasus 1965 memutuskan Indonesia bersalah dan harus bertanggung jawab terkait kasus 1965. Menurut mereka, ada 10 tindakan kejahatan kemanusiaan di Indonesia pasca-peristiwa 1 Oktober 1965.

Kejahatan kemanusiaan itu di antaranya, pembunuhan massal, penahanan dalam kondisi tak manusiawi dan perbudakan orang-orang di kamp tahanan. Selain itu juga penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual, propaganda, genosida dan keterlibatan negara lain dalam kejahatan tersebut.

Untuk itu, Hakim Ketua, Zak Jacoob menyatakan, Pemerintah Indonesia harus minta maaf kepada para korban, penyintas dan keluarga korban. Pemerintah juga didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Keputusan ini tak jauh berbeda dengan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyatakan, peristiwa yang diduga menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa itu merupakan pelanggaran HAM berat.

Ketua Komnas HAM, M. Imdadun Rahmat, mengapresiasi putusan IPT. Meski tak mengikat, ia berharap putusan tersebut bisa mendorong penuntasan kasus 1965 yang selama ini terhambat.

Pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah 6 September 1971, ini mengatakan ada sejumlah roadmap yang ditawarkan lembaganya untuk menyelesaikan kasus 1965. Pemerintah bisa memilih antara jalur yudisial maupun nonyudisial. Ia menegaskan, kasus 1965 harus diselesaikan agar tidak menjadi beban sejarah. Yayasan IPT sudah menyerahkan putusan sidang yang digelar di Den Haag, Belanda tersebut kepada Komnas HAM. Lalu apa yang akan dilakukan Komnas HAM usai menerima laporan tersebut.

Demikian petikan wawancara VIVA.co.id dengan kandidat Doktor di Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini. Wawancara dilakukan di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin 25 Juli 2016.

Apa yang akan dilakukan Komnas HAM menyikapi hasil putusan IPT?

Kami memberikan penghormatan dan apresiasi terhadap aktivitas IPT dan menghormati putusan yang dihasilkan dari sidang Tribunal itu. Ini merupakan sebuah kontribusi dan partisipasi yang baik bagi perbaikan implementasi HAM di Indonesia, khususnya terkait dengan tindak lanjut penyelesaian pelanggaran HAM berat, salah satunya kasus ‘65.

Apa nilai penting dari putusan IPT ini?

Ini kita tempatkan sebagai partisipasi publik mendorong bangsa ini segera mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan peninggalan masa lalu. Jadi kita menyikapinya sebagai kampanye dan juga pendidikan publik bagi masyarakat Indonesia, dan menjadi dorongan tambahan bagi pemerintah.

Bagaimana Komnas HAM menilai status hukum sidang IPT?

IPT kan sidang tribunal atau sidang rakyat. Jadi bukan sidang yang dilakukan oleh penegak hukum yang dinaungi oleh PBB. Jadi ini cara para aktivis dan para ilmuwan untuk berkampanye agar sebuah negara melakukan sesuatu. Jadi kita menempatkan IPT sebagai seruan moral. Kita berharap pemerintah menangkap pesan moralnya, bukan menangkap status hukumnya.

Beberapa putusan IPT mengkonfirmasi hasil penyelidikan Komnas HAM. Tanggapan Anda?

Memang ada beberapa yang sesuai dan mengkonfirmasi penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Dan ada beberapa yang menambahkan sejumlah peristiwa yang tidak diinvestigasi Komnas HAM. Jadi putusan IPT itu ada yang sesuai, memperkuat dan mengkonfirmasi temuan Komnas, tetapi juga ada yang berbeda, dan ada yang menambahkan.

Sejauh ini apa yang sudah dilakukan Komnas HAM terkait kasus 1965?

Pada tahun 2013, saat saya dan komisioner lain baru masuk, Komnas HAM melakukan kampanye dan lobi yang kami sebut sebagai membentuk konsesus nasional untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang macet. Kita ketemu Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD untuk mendapatkan dukungan politik agar ini menjadi agenda nasional. Jadi kasus pelanggaran HAM berat itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tapi harus didorong. Karena kemacetan yang terjadi dalam proses yudisial ini harus ada jalan keluar.

Lalu?

Kita membentuk Tim Tindak Lanjut Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat. Tim ini yang terus menerus menggodok konsep tentang roadmap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya ’65. Tahapannya seperti apa, prinsip-prinsipnya seperti apa, dan juga kelembagaannya yang akan melaksanakan rekonsiliasi itu seperti apa.

Selain itu?

Tim juga melakukan roadshow ke pihak-pihak yang strategis, seperti partai, ormas, termasuk para kyai untuk mendengarkan pandangan mereka tentang penyelesaian yang tepat terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti apa, termasuk kasus ‘65. Komnas HAM juga melakukan lobi ke Presiden yang ketika itu masih SBY, mendorong agar Presiden mengambil langkah.

Saat itu, apa respon SBY?

Pak SBY waktu itu tertarik membuat pernyataan ‘menyesalkan’ atau ‘meminta maaf’ terhadap keluarga korban pelanggaran HAM berat ’65. Waktu itu sempat ada suara dari Istana yang mengabarkan itu. Tapi harapan itu ternyata tak terbukti.

Bagaimana dengan Jokowi?

Kita melakukan komunikasi dengan Pak Jokowi dan Pak Jokowi bersedia hadir dalam Peringatan Hari HAM Internasional di Yogyakarta tahun 2015. Dalam kesempatan itu, salah satu isi pidato Jokowi adalah komitmen pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Jadi ketika itu sudah ada pernyataan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu baik melalui yudisial maupun nonyudisial atau rekonsiliasi.

Setelah itu?

Kita tindak lanjuti dengan melakukan Loka Karya Nasional di Hotel Sahid dengan menghadirkan para pakar, aktivis HAM, dan juga menghadirkan reperesentasi dari pemerintah untuk membicarakan cara terbaik untuk menyelesaikan itu semua. Pertemuan tiga hari itu, menghasilkan sebuah rumusan yang menjadi embrio dalam konsep yang telah dibuat oleh Komnas HAM.

Konsep itu kita bahas dan kita bawa dalam rapat paripurna. Kemudian kita tindak lanjuti dengan pertemuan tingkat menteri, dengan Jaksa Agung, Menkopolhukam, Menkumham, Panglima TNI, Kapolri dan Komnas HAM.

Apa isi pertemuan itu?

Pertemuan itu membahas tindak lanjut pemerintah seperti apa. Dan juga membahas yang paling mungkin untuk dilakukan adalah rekonsiliasi terlebih dulu. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat dari tujuh kasus, yang paling siap untuk rekonsiliasi adalah kasus ‘65. Jadi kasus ’65 yang diproritaskan.

Apa pertimbangannya?

Kasusnya sudah lama. Kemudian dari sisi jumlah korbannya juga paling massif. Suara korban ’65 juga paling moderat mau menerima jalan lain selain yudisial. Kalau kasus-kasus yang lainnya itu masih ada yang berat untuk rekonsiliasi, mereka maunya diselesaikan melalui pengadilan. Itulah kenapa yang dipilih kemudian kasus ‘65.

Apa tawaran Komnas HAM?

Komnas HAM siap mendengarkan, siap berdialog, siap bernegosiasi dengan pemerintah. Komnas HAM siap menjembatani pemerintah dengan para korban. Karena Komnas HAM melihat, jika masing-masing pihak tetap ngotot dengan sikapnya masing-masing ini barang tidak akan terjadi dan kemacetan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini tidak akan pernah terurai.

Caranya?

Ada pengungkapan kebenaran dan sejarah. Kemudian ada permintaan maaf dan pemberian maaf. Pemerintah melalui Presiden atas nama negara menyesalkan terjadinya kekerasan itu. Karena sesungguhnya tanggung jawab negara adalah memastikan agar tidak terjadi kekerasan. Kita mempersilahkan kepada Presiden untuk memilih, apakah ‘meminta maaf’ atau ‘menyesalkan’.

Kenapa?

Argumennya kurang lebih begini. Negara mengambil tanggung jawab dari aparatur negara pada masa lalu untuk kemudian menyatakan penyesalan atau permintaan maaf kepada para korban sebagai sebuah tanggung jawab moral, dimana fungsi negara seharusnya menjaga ketertiban sosial politik dan menjaga keselamatan warganya.

Nah, pada saat itu (tahun ’65) negara tidak mampu melakukan itu. Jadi Presiden mengambil alih moral obligation dari negara pada masa lalu untuk meminta maaf. Bukan Jokowi yang salah, tapi negara. Jokowi mewakili negara meminta maaf untuk nation state Indonesia.

Setelah ada permintaan maaf, harus ada pemberian maaf dari para korban. Lalu ada amnesti atau pemaafan bagi semua pelaku pelanggaran HAM berat. Itu sangat memungkinkan dilakukan karena sebagian besar pelaku utama sudah meninggal dunia.

Sebagai rangkaian dari rekonsiliasi itu harus ada reparasi, harus ada rehabilitasi terhadap para korban. Dalam konsep Komnas HAM restorasi itu terdiri dari rehabilitasi, pemberian kompensasi. Jadi memulihkan hak-hak politik para korban. Juga memberikan bantuan untuk memperbaiki taraf hidup para korban yang pada umumnya sudah hancur, miskin, papa dan penyakitan.

Memang ada kekhawatiran yang sengaja dihembuskan bahwa rekonsiliasi dan rehabilitasi akan berdampak pada keuangan negara dan dapat menyebabkan APBN bangkrut. Ini kekhawatiran yang tidak berdasar, karena sebenarnya tidak begitu tuntutan korban.

Sebenarnya jalan ini sudah sangat moderat sekali. Karena awalnya ingin penyelesaian lewat pengadilan digeser menjadi rekonsiliasi. Sayangnya, konsep yang sangat moderat ini masih tidak bisa diterima oleh pihak lain.

Siapa yang masih tidak menerima cara ini?

Kelompok TNI, khususnya yang senior yang berkumpul dalam simposium “tandingan” itu. Menurut mereka sudah tidak perlu ada aksi apapun dari pemerintah dalam menyikapi kasus pelanggaran HAM berat tahun ‘65. Padahal menurut saya tidak bisa begitu.

Kenapa?

Kalau dibiarkan ini akan menjadi persoalan buat bangsa kita ke depan.

Komnas HAM sudah sangat moderat. Lalu bagaimana sikap resmi pemerintah?

Masih belum jelas betul. Kalau kita katakan akan terus jalan, tampaknya belum ada tanda-tanda untuk menindaklanjuti ini. Tapi kalau kita katakan menghentikan proses, kami masih tetap diajak komunikasi.

Kapan terakhir komunikasi dengan pemerintah untuk menindaklanjuti penyelesaian kasus 65 ini?

Rapat terakhir itu dua minggu lalu. Dua minggu yang lalu masih bertemu dengan Menkopolhukam (Luhut Binsar Pandjaitan) membahas soal penyelesaian kasus ’65 ini.

Kalau menurut Luhut, skenario penyelesaian yang disiapkan pemerintah seperti apa?

Masih mencari bentuk. Karena Menkopolhukam (Luhut Binsar Pandaitan) juga punya tim di bawah Pak Agus Wijoyo. Dan tim ini belum mengeluarkan roadmap penyelesaian kasus.

Artinya, pasca-simposium, pemerintah belum memiliki sikap atau rencana penyelesaian kasus ‘65?

Secara terbuka iya. Secara terbuka pemerintah belum menyampaikan kepada publik apa rencananya.

Apakah ini bisa dikatakan upaya penyelesaian kasus ’65 berhenti?

Masih menunggu tepatnya. Karena Menkopolhukam masih mendorong Kejaksaan Agung untuk berbicara dengan Komnas. Dan hingga saat ini masih ada upaya itu. Jadi ini ibarat roda masih bergulir, meskipun gulirannya tidak kenceng. Dan arahnya kemana juga masih belum jelas.

Berarti masih ada kemungkinan opsi yudisial?

Kemungkinan selalu terbuka. Tetapi kami menganggap bahwa arahnya cenderung ke rekonsiliasi. Pertemuan antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM ini dalam konteks bagaimana mencari jalan yang tepat dan dapat diterima semua pihak dalam upaya rekonsiliasi itu.

Menurut Komnas, idealnya kasus ’65 ini diselesaikan melalui jalur yudisial atau nonyudisial?

Idealnya ya yang memenuhi rasa keadilan. Rasa keadilan yang paling ideal itu, orang salah dihukum. Jadi korban mendapatkan kepuasan batin sehingga rasa keadilannya terpenuhi. Tapi, itu nyaris tidak mungkin dilakukan.

Kenapa?

Penyelesaian yudisial yang paling tersulit adalah menghadirkan pembuktian. Jadi pengadilan itu harus ada bukti-bukti kongkretnya. Yang namanya bukti cukup itu minimal dua alat bukti. Misal, kasus pembunuhan. Ada saksi yang melihat orang itu meninggal bisa menjadi satu bukti. Tetapi harus juga ada yang bisa membuktikan orang itu meninggal karena apa? Kan itu diperlukan visum dan dikerjakan kerja otopsi baru kemudian bisa menguatkan dibunuh oleh siapa.

Artinya pembuktiannya susah?

Bukan susah, tapi tidak gampang. Perlu kerja ekstra keras. Diperlukan political will yang bulat dari negara. Tanpa itu akan sulit sekali untuk menghadirkan pembuktian seperti itu.

Bagaimana nasib berkas hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus ’65?

Masih di Kejaksaan Agung.

Apa hasil pertemuan terakhir antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM?

Kesepakatan mencari penengah yaitu tiga ahli yang akan dimintai pandangan atau pendapat ilmiah terkait perbedaan pendapat antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung selama ini.

Bagaimana Anda melihat komitmen pemerintah terkait penuntasan kasus ’65?

Menteri-menteri yang lain oke. Hanya Menteri Pertahanan yang nggak oke.

Menurut Anda apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menuntaskan kasus ini?

Kita berharap konsep Komnas menjadi alternatif dari roadmap pemerintah. Dan kita berharap ada lembaga di bawah Presiden apakah itu namanya komite atau apapun untuk menjalankan tanggung jawab penyelesaian upaya rekonsiliasi ini.

Artinya Presiden membentuk tim khusus untuk menyelesaikan kasus ‘65?

Iya

Menurut Anda apa yang menyebabkan persoalan ini sangat sulit diselesaikan?

Masih hidupnya dendam sejarah dan sangat masuk akal kalau kita lihat kerasnya benturan saat itu. Kedua, kekhawatiran dari pihak-pihak yang terindikasikan sebagai pelaku akan mengalami kerugian dari sisi nama baik dan dari sisi politik. Saya melihat teman-teman tentara akan merasa dirugikan dengan rekonsiliasi ini karena akan mengikis legitimasi.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masuk dalam Nawacita Jokowi. Sejauh ini bagaimana Komnas HAM melihat komitmen Jokowi?

Dia lebih baik dari pada Presiden sebelumnya.

Apa buktinya?

Presiden sebelumnya tidak pernah mau hadir dalam acara peringatan Hari HAM Internasional, Jokowi mau datang. Presiden sebelumnya belum pernah memasukan penyelesaian pelanggaran HAM dalam program dan janji kampanyenya, Jokowi melakukan itu dalam Nawacitanya. Nawacita adalah bagian dari komitmen politik.

Anda yakin Jokowi akan memenuhi janji-janjinya?

Iya. Dia berusaha memenuhi janjinya. Soal dia masih berfikir soal cara, kita harus menghormati cara yang diambil.

You might also like